[Bismillahirrohmannirrohim]
Kajian bulanan Forum Usroh kali ini, mengangkat tema tentang "Kamu kok Selingkuh??"
'Ketika Cinta Dikhianati'
Oleh : Ustadz Bendri Jaislsyurrahman
"Semua jiwa hidup di atas komitmen pada Rabbnya, berikrar untuk setia sampai kembali. Jika pada Tuhan saja bisa ingkar, bagaimana mungkin menjanjikan sebuah kesetiaan pada manusia." Jakarta, 23 Januari 2017
Saat ijab qobul terucap, seluruh semesta bergetar, menyaksikan dua anak manusia yang mengikat janji setia pada Tuhannya. Sesungguhnya pernikahan tidak hanya sekadar hubungan dua manusia yang saling berucap janji, melainkan sebuah peristiwa yang amat besar dengan Tuhan semesta alam, Allah subhanahuwata'ala. Maka, saat seseorang berani mengkhianati pernikahannya dengan perselingkuhan, sejatinya dia telah ingkar pada Allah, dan telah berkhianat pada sebuah janji yang amat besar.
Perjanjian itu Allah sebut dengan istilah Miitsaqan Ghaliizhaa (Sebuah perjanjian yang amat besar), betapa dahsyat sebuah miitsaqan ghaliizhaa di sisi Allah, hingga Allah mengabadikan perjanjian yang amat besar ini hanya dalam 3 peristiwa besar di dalam Al-quran. Dan diperuntukkan di ayat yang berbeda.
Perjanjian Pertama
“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bercampur dengan yang lain sebagai suami - isteri. Dan mereka (istri - istrimu) telah mengambil dari kamu, miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kuat).” (QS An-Nisaa (4): 21)
Perjanjian Kedua
“Dan ketika Kami mengambil perjanjian dari Nabi-Nabi, dari engkau (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam. Kami telah mengambil dari mereka, miitsaaqan ghaliizhaa, (perjanjian yang kuat).” (QS Al-Ahzab (33):7)
Perjanjian Ketiga
“Dan telah Kami angkat ke atas mereka (Bani Israil) bukit Thur untuk mengambil perjanjian mereka. Kami perintahkan kepada mereka: "Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud". Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu". Kami telah mengambil dari mereka, miitsaaqan ghaliizhaa, (perjanjian yang kuat).” (QS An-Nisaa (4): 154)
Di pihak manakah seseorang itu setelah menikah, maka dapat dilihat ketika seseorang itu mampu berupaya setia di atas sebuah janji yang maha agung, ia laksana pengikut Nabi-nabi terdahulu, Nabi-nabi yang mampu mengucap ikrar setia pada Rabbnya, janji untuk tidak akan berkhianat pada Allah. Nabi tak pernah bernegosiasi pada tiap perintah yang Allah tetapkan. Mereka taat, dan setia pada janjinya. Sebaliknya, jika seseorang yang telah menikah kemudian berupaya untuk berkhianat. Maka, ia laksana bani israil yang berkhianat pada Allah tatkala diminta berjanji untuk taat pada Allah. Ia selalu memiliki cara untuk bisa mengelabui aturan-aturan Allah. Dan benar saja, pengkhianatan itu mampu melatih seseorang berlaku cerdik dan curang.
Akan tetapi, ada satu makhluk Allah yang begitu membenci sebuah pernikahan. Ia Iblis, yang tak pernah ridho jika ummat manusia masuk syurga. Segala upaya ia lakukan untuk menggelincirkan manusia ke dalam lubang neraka. Dan tingkatan prestasi iblis dalam memecahbelah persatuan manusia adalah dengan merusak hubungan tiap pasangan dalam berumahtangga. Sebab, ketika rumah tangga sudah hancur. Maka hancurlah segala lini kehidupan, dan akan timbul kehancuran besar akibat sebuah perceraian, oleh sebab itu perceraian memang dibolehkan dalam islam namun hal itu sangatlah dibenci Allah.
Bercerai bukanlah solusi dari permasalahan yang datang dalam biduk rumah tangga. Seperti orang-orang shalih terdahulu yang ujian pernikahannya jauh lebih berat dari hari ini, bayangkan saja kisah Luth yang istrinya menjadi pendukung kaum LGBT di zamannya yang akhirnya kaum Luth dan istrinya Allah azab. Ada Nuh yang istrinya mendurhakainya, kemudian Allah hanyutkan kaum Nuh dengan badai besar yang menhancurkan seluruh orang yang durhaka di zaman Nuh. Serta Asiyah seorang istri yang shalih bahkan keshalihannya membuat Asiyah Allah jaminkan syurga untuknya tatkala dengan sabar menikah dengan manusia paling kejam, manusia paling durhaka sepanjang masa, Fir'aun. Bersabarlah, sebab pernikahan yang tidak ideal itu bisa jadi sebagai kunci untuknya menuju pintu syurga.
Menikahlah dengan sebab agama dan akhlak yang ada pada pasanganmu, maka niscaya kamu akan beruntung. Namun, jika bukan agama dan akhlak yang menjadikan alasan bagimu menikah dengan pasangan. Maka, bersiap-siaplah untuk menerima penyesalan yang teramat dalam, di dalam pernikahannya kelak. Dan pernikahan yang tidak berlandaskan akhlak dan agama, lebih berpotensi terjadi kerusakan di dalamnya, seperti perselingkuhan dan berakhir dengan perceraian. Naudzubillah
Selingkuh dijelaskan dalam beberapa point, antara lain :
1. Pengkhianatan terhadap janji. Sebab, menikah adalah sebuah perjanjian besar yang Maha Agung. Maka perselingkuhan adalah sebuah pengkhianatan terhadap janjinya pada Tuhan.
2. Kesalahan yang terjadi sejak ta'aruf/pra nikah. Banyaknya perselingkuhan dalam sebuah rumah tangga, bisa juga disebabkan dari proses yang dijalani sebelum menikah. Proses yang tidak diajarkan dalam islam.
3. Setia terhadap Tuhan akan berwujud setia pada pasangan, dan sebaliknya ingkar pada Tuhan akan berwujud sebuah pengkhianatan dalam rumah tangga.
4. Poligami bukan termasuk sebuah pengkhianatan selama caranya tidak di awali dengan perselingkuhan. Ada adab-adab suami yang harus dilakukan sebelum akhirnya memilih untuk poligami, tidak dibenarkan dalam islam poligami yang di awali dengan perselingkuhan.
Beberapa faktor penyebab perselingkuhan :
1. Lemah iman, orang yang lemah imannya sangat berpotensi mendurhakai Allah dengan sebuah pengkhianatan.
2. Hak dasar suami istri yang tidaj terpenuhi, dalam rumah tangga ada beberapa hak dasar suami istri yang harus dipenuhi. Agar tidak terjadi sebuah pengkhianatan. Beberapa hak dasar suami istri dalam pernikahan,yaitu :
Suami :
a. Terpunuhinya kebutuhan biologis suami.
a. Terpunuhinya kebutuhan biologis suami.
b. Ego/ Harga diri. Seorang suami yang sudah kehilangan harga diri dalam rumah tangganya, ia akan mencari tempat yang membuatnya merasa dihargai dan ini bisa jadi awal baru dalam perselingkuhan. Fitrahnya seorang suami, itu begitu menjunjung harga diri dalam rumah tangganya.
Istri :
Merasa aman secara fisik, dan nyaman secara sikologis. Istri yang sudah mendapatkan hak-haknya menjadi istri, maka ia akan mampu menjaga pernikahnnya dengan baik.
3. Hubungan pasutri yang aneh, banyak rahasia, monoton, itu akan lebih berpotensi mengundang orang ketiga dalam hubungannya.
4. Pergaulan yang salah. Dan menyepelekan adab dalam interaksi kepada lawan jenis.
Namun jika ternyata perselingkuhan itu sudah terjadi maka harus ada sikap yang diambil dari sisi pelaku dan korban, dalam upaya perbaikan hubungan rumah tangganya.
1. Pelaku :
a. Wajib taubatan nasuha, karena sesungguhnya hanya pertaubatan nasuha lah yang mampu memperbaiki hubungan yang pernah rusak akibat penghianatan.
a. Wajib taubatan nasuha, karena sesungguhnya hanya pertaubatan nasuha lah yang mampu memperbaiki hubungan yang pernah rusak akibat penghianatan.
b. Terima konsekuensi, setiap perbuatan yang dilakukan manusia selalu dengan paket resiko di dalamnya, apabila pasangan sudah tidak lagi mampu menerima pasangan yang telah berkhianat, maka terima lah hasil dari perbuatan itu.
c. Melakukan perbaikan dengan konsisten dan pendampingan, niscaya orang yang pernah sekali berkhianat ia lebih berpotensi melakukan pengkhianatan untuk yang ke-dua-tiga dan selanjutnya, jadi dalam masa perbaikan sebuah hubungan rumah tangga yang sempat karam, baiknya harus dalam pantauan pendamping yang paham dan mampu menjadi penasihat keluarga, misalnya Ustadz, atau guru ngaji.
d. Sabar terhadap sikap pasangan, karena setelah terjadinya sebuah pengkhianatan biasanya seseorang akan lebih cenderung bersikap yang beda dari biasanya, khususnya kaum hawa yang lebih mengedepankan rasa dalam tiap keadaan, mayoritas perempuan itu mudah untuk memaafkan, namun akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat melupakan kejadian sakit yang menimpanya.
2. Korban
a. Bersabarlah
b. Evaluasi diri, sebab sebaik-baiknya perbaikan sebuah hubungan ialah ketika mampu mengevaluasi kekurangan yang ada pada diri sendiri, sebelum kita menyudutkan beribu tuduhan pada pasangan.
c. Memandu pertaubatan pasangan.
d. Mencegah lisan dari membongkar aib pasangan, apalagi membicarakan aib pasangan di depan anak-anak, sebab anak itu cenderung lemah jika harus menerima permasalahan orang tua.
e. Rencanakan masa depan yang lebih baik pasca pengkhianatan.
Perlu kita sadari bahwa menikah bukan hanya sekadar perkara hubungan yang membahagiakan tanpa gejolak permasalahan mengharu biru, menikah adalah sebuah fasilitas kita untuk beribadah pada Allah. Menikmati ibadah yang tidak hanya terjadi saat bahagia, melainkan bersabar di kala ujianNya datang. Maka, sebaik-baiknya pasangan adalah seseorang yang mampu menjadi pakaian yang baik untuk pasangannya.
Dari beberapa point di atas hasil dari kajian kemarin terangkum satu pembelajaran, bahwa laki-laki yang setia pada Rabbnya dia akan setia dan berupaya untuk menjaga perasaan istri agar terus bahagia. Dan seorang istri yang setia pada Rabbnya akan mampu berlapang hati mempersilakan suaminya berpoligami agar terhindar dari perselingkuhan dan maksiat. Mempersiapkan diri apabila harus ditinggal oleh pasangannya, sebab sebaik baik tempat kita bergantung adalah Allah. Jangan hanya menuntut pasangan kita menjadi baik, namun bercerminlah ke dalam diri kita sendiri untuk memperbaiki kualitas diri di hadapanNya. Maka, keduanya akan saling sama-sama meningkatkan kualitas di hadapan Allah dalam hal iman dan taqwa.
Allahualam bissawab
Jakarta, 2017
Komentar
Posting Komentar